Selasa, 28 Juni 2016
Kepergian Suntaman
Azizah Afasyh
07.52.00
“Suntaman pergi. Terus ia langkahkan kakinya tanpa tahu hendak ke mana. Menyusuri jalan setapak yang gelap sambil mengenang setiap inci perjalanan hidupnya bersama Lastri. Awal pernikahan yang sangat manis. Berjanji untuk saling mencintai tanpa pamrih, janji untuk menua bersama dan segala pernak-pernik kehidupan yang menawarkan keindahan tanpa tahu akan memudar suatu hari. Perlahan matanya basah. Rasa bimbang yang menyeruak membuatnya bagai musafir yang tersesat di belantara pengembaraan. Rasa bersalah juga kerap muncul, menggenapkan seluruh penyesalannya ketika ia putuskan untuk pergi, meninggalkan Lastri.”
**********
Bukan Lastri yang hendak disulap, tetapi pikirannya. Pikiran wanita itu ingin disulap oleh suaminya agar ia berubah menjadi wanita yang tidak banyak tuntutan. Lastri tidak tahu diuntung, begitulah warga kerap membicarakannya. Jika bunyi piring dan gelas berdentuman, warga paham ia sedang mengamuk. Dari jaman sebelum anaknya dilahirkan hingga sekarang, Lastri, tetaplah Lastri yang suka mengamuk dan banyak tuntutan. Mulutnya baru akan mengatup rapat jika suaminya pulang dengan membawa uang banyak. Jika tidak, wanita itu akan terus mengamuk persis seperti orang kesurupan. Dibantinginya semua perkakas. Piring, gelas, panci dan apapun yang bisa dibanting, tak peduli meski perkakas itu masih kredit. Suaranya melengking-lengking hingga semua tetangga bisa mengendap-endap menyaksikannya dari celah yang melubangi gubug mereka.
“Sabarlah, bu. Aku sudah seharian mencari kerja,” kata Suntaman begitu melihat piring-piring hendak dibanting oleh istrinya.
“Sabar, sabar! Hutang kita ini sudah menumpuk, pak. Besok kita harus melunasi cicilan rumah. Besoknya membayar hutang di Muna,” suara Lastri kian meninggi. “Lalu besoknya lagi membayar ujian Yayuk.”
Suntaman diam. Jika sudah demikian, diam adalah pilihan terbaik. Baginya, menasehati istrinya saat mengamuk hanya akan menambah amarahnya saja, tak ada gunanya pula. Mungkin sudah ke seribu kali Suntaman menyuruhnya untuk bersabar dan berkali-kali pula Lastri tak mau mengerti. Padahal Suntaman sudah pontang-panting mencari pekerjaan sampingan. Ia tak ingin menunggu hasil berladang saja. Tapi Lastri tak mau tahu. Ia akan terus mengomel jika suaminya pulang dengan tangan kosong.
Sementara Yayuk, anak semata wayangnya hanya bisa mengelus dada. Ia terus menangis di balik kamarnya, tak tega melihat bapaknya dibentak-bentak seperti itu. Ibunya terlalu banyak menuntut kepada lelaki penyabar seperti Suntaman. Ia tak mau tahu jika suaminya sudah mati-matian mencari nafkah demi dirinya. Yayuk tak paham bagaimana dulu pernikahan kedua orang tuanya bisa terjadi. Karakternya sungguh kontras, seperti warna yang tidak dapat dipadukan. Suntaman lelaki yang penyabar. Sementara Lastri, wanita yang banyak tuntutan. Kalau Suntaman berkehendak mencari wanita lain, mungkin sudah ia dapatkan seribu yang lebih baik dari istrinya. Tetapi Suntaman seperti dikirim Tuhan khusus untuk Lastri, khusus untuk memperbaiki pikirannya.
**********
Seperti biasa, saat Suntaman berangkat kerja, Lastri hanya termangu di depan televisi. Ia akan mengganti chanel berkali-kali hingga terkantuk-kantuk. Atau seperti biasa pula, jika sudah bosan di depan televisi, ia akan pergi ngerumpi dengan tetangga. Membicarakan apa saja. Mulai dari artis yang baru tenar hingga harga beras, gula dan minyak yang mendadak naik. Pikirannya nyaris tertutup. Tak ada keinginan untuk membantu suaminya melunasi hutang-hutang yang kian menumpuk. Kalau ia mau berpikir sedikit saja, ia bisa membuka usaha kecil-kecilan dengan uang tunjangan yang diberikan oleh kepala desa setiap bulan. Atau setidaknya, ia berhenti menuntut kepada suaminya.
“Suamiku tak pernah punya uang banyak seperti suamimu, Na,” keluh Lastri kepada Muna, tetangganya. Muna hanya bisa menggeleng-geleng mendengar keluhannya. Bagi Lastri menceritakan kekurangan suaminya seolah hal yang patut.
“Yayuk juga tak seperti anakmu, sudah cantik berpenghasilan pula.”
“Sudahlah Lastri, kamu jangan banyak menuntut. Yayuk itu anak baik. Kamu seharusnya bersyukur mempunyai anak sepertinya.” sahut bu RT menasehatinya. Ya, Lastri lupa. Disaat anak muda berbondong-bondong menyerahkan keperawanannya demi lelaki yang dipanggil kekasih, Yayuk lah satu-satunya perawan yang selamat di desa itu. Banyak anak putus sekolah, tak tamat pendidikan SD. Tapi beruntunglah Yayuk masih bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah. Lastri benar-benar luput memperhatikan lingkungannya yang miris. Banyak anak putus sekolah kemudian menikah muda dan ujungnya pastilah perceraian. Seolah pernikahan serupa permainan belaka.
**********
“Berhati-hatilah dalam menitipkan cairan kalian” kata Ustad Rohman saat mengisi kajian malam. Semua orang tampak khidmat. Mereka mendengar secara seksama. Hanya Suntaman, yang pikirannya dibuat ribut oleh bayangan istrinya. Ya, kenapa dulu tak ia pikirkan matang-matang? Kenapa ia anggukkan saja keinginan orang tuanya agar menikah dengan Lastri? Seharusnya ia pikirkan matang-matang terlebih dahulu, sematang mangga yang ranum sebelum dipetik. Benarlah kata Rasulullah, seseorang yang menikahi wanita karena kecantikannya saja, maka hanya sebatas kecantikan yang ia dapat. Jika menikahi karena nasab atau harta maka hanya sebatas itu yang akan ia dapat. Tetapi lain halnya jika menikahi wanita karena agama, mereka akan seperti debu yang menempel pada tangan; melekat. Tak ada pilihan lain yang bisa dilakukan Suntaman selain terus mendididik istrinya. Ia tak pernah lelah memberikan nasehat meski nyatanya Lastri sudah tak mempan dengan ceramah agama yang diberikan suaminya saban malam menjelang tidur.
“Bapak kalau mau ceramah di masjid saja. Ibu sudah bosan mendengarnya.” Begitulah Lastri menjawab. Jika sudah begitu, Suntaman lebih memilih diam daripada berdebat sepanjang malam. Ia hanya bisa menangis saat malam sempurna gelap. Mulutnya tak pernah lelah merapal doa agar kelak istrinya berubah, menjadi wanita solihah. Ah, jangankan menjadi wanita solihah, istrinya tidak banyak permintaan saja Suntaman sudah senang.
Bermacam usaha sudah dilakukan. Mulai dari menasehatinya saban malam, lalu menuruti bermacam kemauannya yang ganjil hingga ia rela lembur seharian di ladang demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. Tak peduli punggungnya menghadap langit, dibakar terik matahari. Tapi Lastri tak pernah mengerti. Sia-sia saja semua usaha yang dilakukan. “Menceritakan keburukan suami atau istri adalah aib yang harus disimpan rapat-rapat,” begitulah Ustad Rohman mengakhiri ceramahnya pada malam hari itu.
**********
Suatu hari habislah kesabaran Suntaman. Ia tak tahan melihat kelakuan istrinya yang semakin menjadi. Lastri menuntutnya untuk membelikan kulkas baru seperti yang dimiliki tetangganya beberapa hari yang lalu. Perangainya sungguh sangatlah buruk. Ia akan meminta apa saja, tak peduli punggung Suntaman menghadap ke langit, dibakar matahari.
“Pak, sayur kita akan cepat busuk kalau kita tak punya kulkas.”
“Beli sedikit saja, bu. Ndak usah banyak-banyak. Beli untuk dimasak hari ini saja.”
“Iya pak, tapi…”
“Sudahlah bu. Nanti kalau hutang kita sudah lunas, bapak janji akan belikan kulkas.” Suntaman memotong pembicaraannya dan segera beranjak. Ia tak tahu dengan cara apa menasehati istrinya. Habis sudah kata-katanya. Suntaman mulai pergi ke ladang sambil berpikir bagaimana menyulap Lastri agar menjadi istri yang baik. Baik dalam arti sederhana saja, tak banyak tuntutan. Tetapi Lastri tak pernah berubah. Nasihat atau wejangan apa pun sudah tak mempan.
**********
Suatu malam, pergilah Suntaman dengan membawa tas berwarna hitam. Ia mau minggat. Kesabarannya nyaris habis. Tetapi istrinya tetap bergeming. Lastri yakin jika suaminya akan kembali pulang. Wanita itu percaya diri melebihi apa pun. Entah darimana ia peroleh pikiran seperti itu. Dalam pikirannya, jika Suntaman benar-benar pergi, mungkin hanya satu atau dua hari saja. Suntaman tak akan pernah pergi lama-lama darinya.
Akan tetapi apa yang diyakini Lastri ternyata salah selama ini. Sudah hampir empat bulan suaminya tak kunjung pulang. Lastri tak tahu kemana hendak mencari laki-laki itu. Ia mulai gamang. Mungkin Suntaman pergi meninggalkannya lalu memilih menikah dengan wanita lain. Ah tidak, segera ia tampik pikiran negatif yang muncul secara tiba-tiba itu. Suntaman tetaplah lelaki yang baik dan penyayang. Laki-laki yang sudah menafkahinya selama sepuluh tahun itu tak akan pergi begitu saja lantaran pertengkaran kecil dengan istrinya. Lastri mulai membayangkan Suntaman yang kedinginan saban malam juga kelaparan saban hari karena ia benar-benar pergi meninggalkan dirinya dan memilih untuk menggelandang daripada mendengarkan omelannya setiap pagi. Tak terasa bulir air matanya menetes. Kemana hendak mencari lelaki penyabar itu. Makin berganti hari, makin terajamlah hatinya dengan kecemasan yang semakin menjadi. Dulu, andai ia bisa menyanyangi lelaki itu sepenuh hati, tentu semua tak akan terjadi. Suntaman tak akan pernah pergi, Lastri yakin betul akan hal itu. Ia mulai berjanji dalam hati jika ia akan berubah. Menjadi wanita yang baik, dalam arti sederhana saja, tak banyak tuntutan. Tetapi penyesalan pastilah berujung resah dan air mata. Suntaman tak pernah pulang.
**********
Suntaman pergi. Terus ia langkahkan kakinya tanpa tahu hendak ke mana. Menyusuri jalan setapak yang gelap sambil mengenang setiap inci perjalanan hidupnya bersama Lastri. Awal tahun pertama, pernikahan yang sangat manis. Berjanji untuk saling mencintai tanpa pamrih, janji untuk tumbuh tua bersama dan segala pernak-pernik kehidupan yang menawarkan keindahan tanpa tahu akan memudar suatu hari. Perlahan matanya mulai basah. Rasa bimbang yang menyeruak membuatnya bagai musafir yang tersesat di belantara pengembaraan. Rasa bersalah juga kerap muncul menggenapkan penyesalannya ketika ia putuskan pergi meninggalkan istrinya. Ia mengutuk dirinya. Tak seharusnya pergi. Lastri pastilah bisa menjadi wanita yang baik dan Suntaman tak akan lelah mendidiknya. Ia bertekad kuat. Ia harus kembali, menemui istrinya dan memulai kehidupan yang manis seperti awal pernikahannya yang juga manis.
Batu, 02 Maret 2016 Cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar